Halaman

Kamis, 11 November 2010

Ahmad Hassan, Sang Guru Utama Persis

AHMAD HASSAN atau A Hassan adalah salah satu tokoh utama organisasi Persatuan Islam (Persis). Sosok ulama yang satu ini tidak hanya dikenal luas di Indonesia, tetapi juga di negeri tetangga Malaysia dan Singapura. Sebagai seorang ulama, Ahmad Hassan dikenal sangat militan, teguh pendirian, dan memiliki kecakapan luar biasa. Pemahamannya dalam bidang ilmu pengetahuan agama, sangat luas dan mendalam.

Dalam buku Yang Dai Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis karya Dadan Wildan disebutkan bahwa nama Ahmad Hassan yang sebenarnya adalah Hassan bin Ahmad. Akan tetapi, berdasarkan kelaziman penulisan nama keturunan India di Singapura, yang menuliskan nama orang tua (ayah) di depannya, Hassan bin Ahmad lebih dikenal dengan panggilan Ahmad Hassan. Ia lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia-India. Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis yang cukup ahli dalam bidang agama Islam dan kesusasteraan Tamil.


Sang ayah pernah menjadi redaktur majalah Nur al-Islam (sebuah majalah sastra Tamil), selain sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa Arab. Adapun ibu Ahmad Hassan bernama Muznah, yang berasal dari Palekat Madras, tetapi lahir di Surabaya. Setelah menikah, kedua orang tua Ahmad Hassan ini menetap di Singapura.

Masa kecil Ahmad Hassan dilewatinya di Singapura. Ia sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar, tetapi tidak sampai lulus. Kemudian ia masuk sekolah Melayu dan menyelesaikannya hingga kelas empat. Ia juga sempat belajar di sekolah dasar pemerintah Inggris sampai tingkat yang sama, sambil belajar bahasa Tamil dari ayahnya.

Saat mengenyam pendidikan di sekolah Melayu inilah ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil, dan Inggris. Pada usia tujuh tahun, sebagaimana anak-anak pada umumnya, ia belajar Alquran dan memperdalam agama Islam.

Hidup mandiri

Pada usia 12 tahun, A Hassan belajar mandiri dengan bekerja di sebuah toko milik iparnya. Sambil bekerja, ia menyempatkan diri belajar privat dan berusaha menguasai bahasa Arab sebagai kunci untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam. Dia juga mengaji pada Haji Ahmad di Bukittiung, dan pada Muhammad Thaib, seorang guru yang terkenal, di Minto Road.

Ahmad Hassan banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf dari Muhammad Thaib. Sebagai orang yang keras kemauannya dalam menuntut ilmu, ia tidak keberatan jika harus datang dini hari sebelum Subuh. Namun, karena merasa tidak ada kemajuan setelah kira-kira empat bulan belajar nahwu dan sharaf, ia memutuskan untuk beralih mempelajari bahasa Arab pada Said Abdullah al-Musawi selama tiga tahun.
Selain itu, ia juga belajar kepada pamannya, Abdul Lathif (seorang ulama yang terkenal di Malaka dan Singapura), Syekh Hasan (seorang ulama yang berasal dari Malabar), dan Syekh Ibrahim (seorang ulama dari India). Beliau mempelajari dan memperdalam Islam dari beberapa guru tersebut sampai kira-kira tahun 1910, menjelang usia 23 tahun.

Selain memperdalam ilmu agama Islam, dari tahun 1910 hingga tahun 1921, Ahmad Hassan melakukan berbagai macam pekerjaan di Singapura. Dari tahun 1910 sampai tahun 1913, ia menjadi guru tidak tetap di madrasah orang-orang India yang terletak di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang Singapura.

Ia juga menjadi guru tetap di Madrasah Assegaf di Jalan Sulthan. Sekitar tahun 1912-1913, ia menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press.

Berbagai pekerjaan lainnya, ia geluti tanpa rasa lelah. Ia pernah menjadi buruh toko, pedagang tekstil, permata, minyak wangi, bahkan menjadi agen distribusi es dan vulkanisir ban mobil. Ia juga pernah menjadi juru tulis di kantor jamaah haji di Jeddah Pilgrims Office Singapura. Selain itu, ia juga menjadi guru bahasa Melayu dan bahasa Inggris di Pontian Kecil, Sanglang, Benut, dan Johor.

Perseteruan kaum muda dan tua

Pada tahun 1921, ia hijrah dari Singapura ke Surabaya untuk meneruskan usaha tekstil milik pamannya. Pada masa itu, Surabaya menjadi tempat pertikaian antara ‘kaum muda’ dan ‘kaum tua’ dalam masalah agama. Kaum muda dipelopori oleh Faqih Hasyim, seorang pendatang yang menaruh perhatian besar dalam masalah keagamaan.

Di Surabaya, Faqih Hasyim memimpin kaum muda dalam upayanya melakukan gerakan pembaruan pemikiran Islam melalui tukar pikiran, tabligh, dan diskusi-diskusi keagamaan. Kaum muda di Surabaya ini mendapat pengaruh pembaharuan Islam dari tulisan-tulisan Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, Zainuddin Labay (ketiganya dari Sumatra), dan Ahmad Surkati (tokoh Persis lainnya).

Dari Kiai Haji Abdul Wahab–seorang ulama di Surabaya yang di kemudian hari menjadi tokoh Nahdlatul Ulama (NU)–ia mengetahui pokok persoalan yang menyulut pertikaian antara kaum muda dan kaum tua. Kiai Wahab mengungkapkan pelafalan ushalli (pembacaan niat dengan bersuara yang dilakukan sebelum shalat) yang dipraktikkan oleh kaum tua sebagai salah satu contoh pertentangan itu.

Kaum muda menolak praktik ushalli ini. Sebab, menurut mereka, tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan hadis Nabi. Dalam pandangan mereka, agar dapat disebut agama, keberagamaan hendaklah didasarkan pada Al-Quran dan hadis sahih. Karena ushalli merupakan hal baru yang diperkenalkan oleh ulama yang datang kemudian dan tidak terdapat dalam kedua sumber hukum tersebut, kaum muda menolaknya dan menilainya sebagai amalan yang tidak perlu dilakukan.

Pembicaraan dengan Kiai Wahab itu, mendorong Ahmad Hassan untuk berpikir lebih jauh tentang masalah tersebut. Setelah melakukan penelitian terhadap Al-Quran dan hadis sahih, ia sampai pada kesimpulan bahwa pendapat kaum mudalah yang benar. Sejak saat itu, ia lebih banyak bergaul dengan Faqih Hasyim dan kaum muda lainnya. Dalam kesempatan lain, ia sering juga bergaul dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI), seperti HOS Tjokroaminoto, AM Sangadji, Bakri Suroatmodjo, dan Wondoamiseno.

Bergabung ke Persis

Karena lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berdiskusi dengan kaum muda dan para tokoh SI, usaha dagangnya di Surabaya mengalami kemunduran. Toko yang dikelolanya diserahkan kembali kepada pamannya. Ia kemudian memulai usaha lain dengan membuka perusahaan tambal ban, tetapi tidak lama kemudian tutup.

Melihat hal ini, kedua orang sahabatnya, Bibi Wantee dan Muallimin, mengirimnya ke Kediri untuk mempelajari pertenunan. Memang saat itu di Surabaya banyak pedagang yang membuka perusahaan tenun.
Selesai belajar pertenunan di Kediri, ia kemudian melanjutkan ke sekolah pertenunan pemerintah di Bandung. Di kota kembang ini, ia tinggal di keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis (Persatuan Islam). Karena itu pula, ia sering mengikuti pengajian-pengajian dalam lingkungan Persis.

Dengan keadaan itu, tanpa sengaja, Ahmad Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penelaahan dan pengkajian Islam melalui Persis; suatu kegiatan yang tidak ingin ditinggalkannya.

Dengan persetujuan teman-temannya, ia mengalihkan usaha tenunnya di Bandung. Akan tetapi, perusahaan tenun yang didirikannya gagal sehingga terpaksa ditutup. Sejak itulah, minatnya untuk berusaha tidak muncul lagi. Akhirnya, ia mengabdikan dirinya dalam penelaahan dan pengkajian Islam dengan cara berkiprah dalam jam’iyyah Persis. Ia memasuki organisasi tersebut pada 1926, tiga tahun setelah organisasi ini berdiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar